Beberapa Cara Mengatasi Sakit Gigi

Gigi merupakan bagian penting dari tubuh yang apabila tidak dirawat sewaktu-waktu bakal keropos, berlubang, atau bahkan tanggal. Sebelum hal itu terjadi, umumnya didahului oleh rasa nyeri, ngilu, gusi bengkak, atau gejala lainnya.

Ada beberapa cara sebagai langkah awal untuk mengobati sakit gigi, di antaranya adalah: (1) mengkompres dengan air dingin selama sekitar 20 menit agar pembuluh darah di sekitar gigi mengerut dan meredakan rasa sakit; (2) menggunakan obat kumur hidrogen peroksida yang tidak saja meredakan nyeri tetapi juga dapat membunuh bakteri, mengurangi plak, dan menyembuhkan gusi berdarah; (3) mengunyah daun jambu biji sebagai antiinflamasi (peradangan), membantu menyembuhkan luka, dan merawat bagian mulut; (4) berkumur dengan air garam yang merupakan disinfektan alami yang dapat melonggarkan partikel makanan dan kotoran di sela-sela gigi, mengurangi peradangan, dan menyembuhkan luka mulut; (5) menggunakan bawang putih (mengandung allicin) yang telah ditumbuk bersama garam untuk mengurangi bakteri dalam mulut penyebab sakit gigi; dan (6) mengoleskan minyak cengkah yang mengandung eugenol (antiseptik alami) pada bagian yang nyeri.

Masjid Agung Sumenep

Masjid Agung Sumenep dibangun pada masa pemerintahan Panembahan Sumolo. Pembangunannya memerlukan waktu sekitar 8 tahun, dimulai dari tahun 1779 dan selesai tahun 1787. Sejak berdiri hingga sekarang masjid tersebut tetap menjadi anutan dalam pengembangan syiar Islam di Kabupaten Sumenep. Masjid yang memiliki arsitektur yang indah dan khas (memiliki perpaduan antara gaya Islam, Eropa, dan Cina) ini merupakan salah satu dari sepuluh masjid tertua di Indonesia.

Diantara masjid dan keraton terdapat tanah lapang yang oleh masyarakat setempat disebut alon-alon. Makna simbolik dari keberadaan masjid yang ada di bagian barat alon-alon adalah Hablum Minallah (hubungan antara manusia dengan Sang Penciptanya). Sedangkan, makna simbolik dari keberadaan keraton yang di bagian timur alon-alon adalah Hablumminannas (hubungan antarmanusia). Ini artinya, jalinan hubungan yang harmonis antara ulama dan umaro sudah tercipta sejak masa lalu.

Nyai Izzah

(Cerita Rakyat Daerah Madura)

Di kalangan masyarakat Sumenep, yang menyebarkan agama Islam di sana , tepatnya di daerah Sapudi, adalah Syd. Ali Sunan Lembayung Fadal. Nama Sapudi berasal dari bahasa, yaitu “sepuh dewe” (tua sendiri) yang kemudian menjadi “sepudi”. Maknanya adalah bahwa masuknya agama Islam di daerah Sumenep dimulai dari sana (Sepudi). Sunan Lembayung itu sendiri mempunyai seorang isteri yang bernama Dewi Maduratna. Dewi tersebut masih keturunan Prabu Banyak Wangi (Raja Pajajaran). Dari hasil perkawinannya, mereka mempunyai empat putera, yaitu: (1) Syd. Haji Usman alias Sunan Manyuram yang kemudian menyebarkan agama Islam di Mandalika (Lombok). Beliau mempunyai putera yang bernama R. Bendara Dwiyarpada alias Sunan Padusan yang kemudian menyebarkan agama Islam di Sumenep. Sunan ini menikah dengan anaknya Jokotole; (2) Syd. Usman Haji yang lebih dikenal dengan Sunan Ngundung. Beliau mempunyai dua orang putera, yaitu Syd. Jakfar Sodik alias Sunan Kudus dan Siti Sujinah (isteri Sunan Muria); (3) Panembahan Blingi atau Tumenggung Pulang Jiwa . Beliau mempunyai dua orang putera, yaitu Adipodai alias Panembahan Wirakrama dan Adirasa alias Panembahan Wirabata; dan (4) Nyai Ageng Tanda (isteri khafilah Husien alias Sunan Kertayasa Sampang).

Syd. Jakfar Sodik (Sunan Kudus) mempunyai putera yang bernama Syd. Amir Hasan alias Sunan Pakoas. Sunan Pakoas sendiri, setelah menikah, mempunyai 12 putera, dan putera yang ke-9 bernama Syd. Ahmad Baidowi alias Pangeran Katandur. Pangeran Katandur mempunyai beberapa putera, antara lain: Hatib Paranggan, Hatib Padusan, dan Hatib Sendang. Hatib Paranggan mempunyai puteri yang bernama Nyai Berek yang kemudian menikah dengan K. Wangsadikara dari Mataram. Dari hasil perkawinannya, mereka dikaruniai putera yang bernama K. Abdullah Nginbungin. Sementara, Hatib Padusan mempunyai dua orang putera, yaitu K. Moh. Ali Brambang Kalimook (Kecamatan Kalianget) dan Nyai Jeddir (Lembung Barat, Kecamatan Lenteng). Nyai Jeddir sendiri kawin dengan K. Abdullah Nginbungin (Kecamatan Dungkek). Mereka dikaruniai seorang putera yang bernama K. Jalaluddin yang kemudian kawin dengan Nyai Galu. Perkawinan mereka menghasilkan keturunan (puteri) yang bernama Nyai Izzah. Nyai Izzah sendiri akhirnya menikah dengan Bendara Saud. Mereka dikaruniai dua orang putera, yaitu R. Baharudin alias Aryo Pacinan dan R. Asiruddin alias Panembahan Somala. Jadi, berdasarkan ceritera rakyat yang berkembang di kalangan orang Sumenep, maka Nyai Izzah disamping keturunan bangsawan, juga penyebar agama Islam.

Baba Marta Day di Bulgaria

Setiap tanggal 1 Maret di Bulgaria ada sebuah tradisi unik yang dinamakan Baba Marta Day. “Baba Marta” yang dalam bahasa Indonesia berarti “Nenek Maret” adalah sosok mitologi dalam kebudayaan masyarakat Bulgaria. Dia digambarkan sebagai seorang nenek yang murung di Bulan Januari dan Februari karena musim salju yang dingin dan baru ceria kembali setelah salju mencair di Bulan Maret. Konon, kegembiraan sang nenek dapat membuat matahari bersinar cerah dan bunga-unga bersemi indah yang mengundang kicauan burung sebagai tanda berakhirnya musim dingin.

Sebagai tanda Baba Marta Day, masyarakat Bulgaria akan saling bertukar martenitsa berupa gelang wol dikepang berwarna merah-putih, gantungan kunci, bros, dan lain sebagainya. Martenitsa merupakan simbol semangat dalam menyongsong musim semi dalam suasana penuh kemurnian hati. Ia dipertukarkan sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang antara orang-orang terdekat.

Ada aturan main dalam mengenakan martenitsa, yaitu orang yang membuat atau membelinya tidak boleh mengenakan untuk diri sendiri. Jadi, harus ada orang lain yang memberikan barulah boleh dikenakan. Benda ini dapat dikenakan sebagai gelang tangan, diikatkan di pohon, mobil, rumah, pakaian, dan lain sebagainya

Apabila tanda-tanda musim semu akan tiba dengan datangnya burung bangau dari benua Afrika, martenitsa baru bisa ditanggalkan. Selanjutnya, dia akan ditaruh di bawah batu atau digantungkan pada pohon-pohon yang mulai bertunas.

Madyang Byareng, Tradisi Osing yang Masih Eksis

Masyarakat Osing yang berada di Kabuaten Banyuwangi, terutama di Kecamatan Songgon, Rogojampi, Blimbingsari, Singojuruh, Kabat, Licin, Giri, dan Glabah tidak hanya memiliki tradisi kebo-keboan, tetapi juga Madyang Byareng atau makan bersama yang sampai saat ini masih terawat.

Madyang Byareng umumnya dilakukan setelah masa panen, apalagi jika hasil panen berlebih. Orang yang berhajat ingin madyang byareng akan mengundang sanak kerabat, para tetangga hingga teman-temannya yang berasal dari luar desa.

Adapun menu yang disajikan dalam tradisi ini adalah tumpeng, pecel pitik (ayam) dan serakat (serah tirakat ambi hang gawe orip) berupa dedaunan seperti sawi, genjer, pakis, kangkung, dan lain sebagainya (yang dapat dimakan).

Shoei X-Fourteen Aerodyne Blue Full Face Helmet

Shoei X-Fourteen Aerodyne Blue Full Face Helmet

Features
• All new shell shape along with a redesigned rear stabilizer to maximize high-speed stability while reducing negative forces on the rider
• Wind tunnel-optimized to excel in the tucked racing position
• Removable lower air spoiler
• Boasts 6 air intakes and 6 exhaust outlets optimized for maximum airflow
• Cheek pad cooling system delivers refreshing air to rider's cheek area
• Side air outlets to improve hot air expulsion
• Double locking mechanism equipped with Pinlock, EVO fog resistant, and UV protected
• Five stage rotating dial for shield/base plate fine-tuning
• Fully removable, washable, replaceable and adjustable
• Exclusive Max-Dry material absorbs and dissipates sweat twice as fast as traditional nylon
• Proprietary technology integrates a six-ply matrix
• Hand-laid interwoven layers of fiberglass with organic fibers and resin
• Helmet can be gently removed from an injured rider's head with minimal load placed on his/her neck

Jajabur di Bulan Ramadan

Di Desa Bantarkalong, Kecamatan Cipatujah, Tasikmalaya ada sebuah tradisi yang selalu hadir saat bulan Ramadan, yaitu jajabur. “Jajabur” yang dalam bahasa Sunda berarti “makanan kecil” awalnya dibawa oleh seorang ulama bernama Syaikh Zainuddin sekitar tahun 1900an. Bentuknya berupa sedekah dengan berbagi makanan kepada orang-orang yang sedang berada di masjid (pakauman) antara tanggal 10-20 Ramadan.

Makanan yang akan disajikan dimasak secara bergotong royong. Para pemasak dibagi menjadi beberapa puhun (kelompok) sesuai dengan hari yang telah ditentukan (antara tanggal 10-20 Eamadan). Pembagian kelompok didasarkan atas garis keturunan dari pihak perempuan. Adapun jenis masakan yang selalu dibuat adalah buras terbuat dari beras ketan kukus yang dibentuk segi empat dan dibungkus daun pisang.

Archive