Reog adalah sebuah kesenian yang merupakan perkembangan dari kesenian Ogel. Jadi, dalam pementasannya sebagian besar relatif sama dengan ogel, yaitu lawakan yang diselingi oleh nyanyian serta gerakan-gerakan lucu dari pemainnya. Perbedaannya hanya dalam beberapa hal seperti: (1) dipentaskan sore hari; dan (2) tidak menggunakan motif pukulan ngaleunggeuh (isyarat awal pertunjukan), ngarajah (pengantar permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa), kempringan (pengiring lagu), dengdengtung (pengiring gerak langkah kaki), tabeuh jalan (pengiring pemain saat berkeliling), tabeuh saliwat (pengiring atraksi humor), ngabendrong (iringan penutup pertunjukan)..
Motif pukulan tadi dihasilkan oleh waditra yang dahulu terdiri atas: kendang (membranophone terbuat dari kayu dan kulit), goong buyung, saron barung, rebeb, kulanter, serta angklung. Namun, seiring perkembangan waktu, ada penambahan waditra lain berupa dogdog (membranophone berwangkis satu muka terbuat dari kayu nangka dan kulit kerbau/biri-biri/kambing berfungsi pengatur irama lagu), goong besar dan kecil, tarompet (aerophone dari kayu yang memiliki tujuh lubang nada), dan kecrek.
Oleh karena banyak melibatkan pemain dan nayaga pemegang waditra, sebuah grup reog umumnya berjumlah empat belas orang. Mereka bermain dalam dua babak. Babak pertama berdurasi sekitar 2,5 jam dengan komposisi empat orang pemain, lima orang nayaga, dan seorang cadangan. Sementara babak kedua diisi oleh empat orang sisanya. Sebagai catatan, hingga sekarang para pemain dan nayaga reog harus mematuhi sebuah pantangan untuk tidak “main” perempuan agar karier mereka tidak hancur.
Selain pantangan, ada pula sebuah aturan yang harus dilaksanakan sebelum memulai pertunjukan, yaitu ngukus atau membakar kemenyan dengan perlengkapan berupa sesajen untuk leluhur yang terdiri atas: kopi pahit, rujak, bebungaan, dan cerutu. Adapun tujuannya adalah agar selama pertunjukan berlangsung tidak mendapat gangguan, terutama dari makhluk gaib.