Kerapan sapi sangat erat kaitannya dengan seprang penyebar agama Islam di daerah Madura, yaitu Syeh Ahmad Baidawi. Sambil menyebarkan agama, Beliau mengajarkan cara bercocok tanam (membalik tanah) dengan menggunakan sepasang bambu (Nanggala atau Salaga) yang ditarik oleh dua ekor sapi. Oleh karena itu, Beliau diberi gelar “Pangeran Katandur”. Kerapan sapi pada awalnya merupakan kegiatan untuk memperoleh sapi yang kuat. Lama-kelamaan kegiatan tersebut berkembang menjadi adu balap-sapi (kerapan sapi) sebagaimana yang ada di kalangan masyarakat Madura dewasa ini.
Kerapan sapi adalah salah satu jenis permainan tradisional masyarakat Madura. Ada beberapa persyaratan yang berkenaan dengan kondisi sapi, yaitu: (1) Sapi harus mempunyai jenis warna Madura (Madura asli); (2) Sapi harus sehat dan kuat; (3) Tinggi sapi harus mencapai 120 sentimeter; dan (4) Giginya sudah dicabut. Untuk membuat sapi sehat dan kuat diperlukan makanan yang “bergizi”, seperti: batang pohon jagung, kedelai, kacang, dan rumput yang baik. Selain itu, sapi-kerap juga diberi ramuan tradisional seperti: jahe, lada, cabe, madu, bir, dan puluhan bahkan ratusan telur.
Tiga atau empat hari sebelum pelaksanaan kerapan sapi tiba, pemilik sapi dan keluarganya mendatangi arena pertandingan dan mencari tempat yang dianggap baik untuk memarkir sapi-aduannya. Sebab, dalam kerapan sapi yang bertanding bukan semata-mata sapi, tetapi antarpemiliknya melalui kekuatan gaib. Siapa yang unggul kekuatan gaibnya dalam “melumpuhkan” sapi lawan, dialah yang akan memenangkan kerapan. Oleh karena itu, tidak jarang pemilik sapi berpuasa untuk mengalahkan tenaga gaib pemilik sapi lainnya.
Pelaksanaan Kerapan Sapi dibagi dalam empat babak. Babak pertama, seluruh pasangan sapi diadu keceptannya. Dalam babak ini baik sapi yang menang maupun kalah dapat bertanding lagi. Babak kedua, pasangan sapi pada kelompok menang akan dipertandingkan kembali; demikian juga pasangan sapi pada kelompok kalah. Pada babak ini baik semua pasangan sapi pada kelompok menang maupun kalah tidak boleh dipertandingkan lagi. Babak ketiga (semi final) adalah babak penentuan tiga pasang sapi pemenang dari kelompok pemenang dan tiga pasang sapi pemenang dari kelompok yang kalah. Babak kempat (final) adalah babak penentuan juara I,II, dan III, baik dari kelompok pemenang maupun kalah.
Kejuaraan Kerapan Sapi dilakukan secara bertingkat. Dimulai dari tingkat Pembantu Bupati, Kabupaten, dan terakhir tingkat karesidenan. Tingkat karesidenan (Final Besar) biasanya diadakan di Kota Pamekasan (Koordinator Kerja Wilayah VII Madura). Pada tingkat ini diikuti oleh 4 kabupaten yang ada di Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep). Setiap kabupaten mengirim 6 pasang sapi pemenang. Namun, sejak tahun 1998 Final Besar tidak lagi dipusatkan di Kota Pamekasan tetapi bergiliran. Kini Kerapan Sapi telah masuk dalam kalender nasional (acara tahunan) dengan pelaksanaan bulan Agustus—Oktober pada setiap tahunnya.
Sapi dalam kehidupan masyarakat Madura memiliki arti tersendiri. Ia tidak hanya sebagai alat bantu dalam bercocok tanah (membajak), tetapi juga alat transportasi, dan permainan tradisional. Oleh karena itu, berdasarkan penggunaannya ada beberapa istilah, antara lain: antara lain: sape-kerap (sapi yang digunakan untuk kerapan), sape-pajikaran (sapi yang digunakan untuk menarik pedati), dan pangorbi (sapi betina yang berperan sebagai induk). Pangorbi yang kualitasnya bagus dijadikan sebagai sape-pajhangan (lotrengan). Kualitas sapi yang bagus dapat dilihat dari bentuk tubuh, warna kulit, dan kesehatannya. Sapi ini dirawat dan dibuat sedemikian rupa (diberi aksesoris) sehingga menarik perhatian orang. Perawatan yang khas inilah yang kemudian membuahkan sebuah kegiatan (kontes) yang disebut sape-sono. Di Sumenep pemeliharaan sape-sono masih dapat ditemukan di daerah: Gading, Batu Putih, Bluto, dan Batang-Batang.
Kontes sape-sono biasanya dilakukan sebelum kerapan sapi (mengawali pelaksanaan kerapan sapi). Ketika kontes itu berlangsung, dua pasang sapi dilepas dari garis start menuju labhang sakheteng, yaitu semacam gapura yang diberi benda-benda yang dapat menakutkan sapi, seperti: cermin besar, orang-orangan, dan topeng. Menang dan kalahnya pasangan sapi yang mengikuti kontes bergantung pada penilaian juri berdasarkan: (1) Keanggunan sapi ketika berjalan dengan pasangannya (arah pandang ke depan dan lurus); (2) Keselarasan ketika berjalan (seirama dengan musik pengiring); dan (3) Ketepatan ketika berhenti di bawah gapura.